LBH SURAKARTA: Peradilan Anak

Peradilan Anak

Peradilan Anak

Mengedepankan Keadilan Restoratif dan Hak Pendidikan

Dalam sistem hukum Indonesia, perkara yang melibatkan anak harus diperlakukan secara berbeda dibanding orang dewasa. Prinsip dasarnya adalah melindungi tumbuh kembang anak sambil tetap menegakkan keadilan. Itulah mengapa Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) sebagai landasan hukum utama.

Batasan Usia dan Pertanggungjawaban Anak

Undang-undang mendefinisikan anak yang berhadapan dengan hukum sebagai seseorang berusia 12 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun. Dalam batasan itu, terdapat dua aturan penting:

  • Anak berusia 12–18 tahun dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
  • Anak berusia 14–18 tahun dapat dikenakan penahanan apabila sangat diperlukan.
Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi pembinaan dan pendidikan anak, bukan semata-mata menghukumnya.

Diversi Sebagai Alternatif Penyelesaian di Luar Pengadilan

Salah satu ciri khas peradilan anak adalah adanya mekanisme diversi. Diversi berarti pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke luar jalur pengadilan, melalui musyawarah yang melibatkan anak, orang tua, korban, dan lembaga sosial. Tujuannya bukan menghukum, tetapi memulihkan hubungan sosial dan memastikan anak dapat memperbaiki diri. Diversi hanya dapat dilakukan jika tindak pidana yang dilakukan diancam pidana di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan. Kasus dengan ancaman di atas 7 tahun, seperti pembunuhan atau perkosaan, tidak dapat diajukan untuk diversi. Selain mengurangi beban pengadilan, mekanisme ini menegaskan bahwa sistem hukum anak lebih berorientasi pada keadilan restoratif daripada balas dendam sosial.

Larangan Publikasi dan Perlindungan Hak Anak

Dalam perkara anak, identitas pelaku maupun korban harus dirahasiakan. Media massa, lembaga pendidikan, dan masyarakat dilarang menyebutkan nama, alamat, foto, atau data lain yang dapat mengungkap jati diri anak. Namun praktik di lapangan masih menunjukkan pelanggaran prinsip tersebut. Misalnya, terdapat kasus anak yang diminta keluar dari sekolah akibat keterlibatan dalam perkara asusila, baik sebagai pelaku maupun korban. Beberapa korban bahkan berhenti sekolah setelah mengalami kehamilan, sementara lainnya beralih ke pendidikan kesetaraan. Situasi ini seharusnya menjadi perhatian serius Dinas Pendidikan dan lembaga penegak hukum. Hak anak untuk mendapatkan pendidikan tetap dijamin oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA. Kedua regulasi ini menegaskan bahwa negara wajib memastikan hak pendidikan anak tidak hilang karena status hukumnya.

Penutup

Sistem Peradilan Anak bukan sekadar sarana penegakan hukum, melainkan wujud tanggung jawab negara untuk mendidik generasi muda. Fokus utamanya bukan menghukum, melainkan membimbing dan memulihkan. LBH Surakarta mengajak masyarakat, sekolah, dan aparat penegak hukum untuk bersama-sama menegakkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, agar keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga menghidupkan harapan bagi masa depan mereka.