LBH SURAKARTA: UU Pornografi

UU Pornografi

UU Pornografi

lbh surakarta, lbh solo, pengacara solo, advokat, bantuan, berbagai, di, hukum, indonesia, informasi, jasa, jenis, kasus, konsultan, lbh, litigasi, masalah, pengacara, perdata, pidana, sidang, solo, surakarta,

Pengertian dan Ancaman Pidana

Dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, pornografi diatur secara khusus dalam Undang‑Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Sebagai lembaga bantuan hukum yang aktif menangani kasus pidana dan perlindungan korban, LBH Surakarta sering menemui persoalan hukum terkait konten pornografi, baik dalam bentuk digital maupun media cetak. Artikel ini menjelaskan definisi pornografi menurut UU tersebut, serta konsekuensi hukum bagi pelakunya.

Pasal 1 angka 1 UU No. 44 Tahun 2008 mendefinisikan:

“Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”

Dengan kata lain, suatu konten dikategorikan sebagai pornografi jika memenuhi dua unsur utama:

  1. Bentuknya berupa gambar, suara, tulisan, atau pesan lain yang disampaikan melalui media komunikasi atau pertunjukan di muka umum;
  2. Isinya memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang bertentangan dengan norma kesusilaan yang berlaku di masyarakat Indonesia.
Pengertian ini kemudian diperjelas dalam penjelasan pasal, yang menekankan bahwa norma kesusilaan harus dipahami dalam konteks nilai‑nilai luhur bangsa, agama, dan kearifan lokal, bukan semata‑mata dari sudut pandang individu.

Tindak Pidana Produksi dan Penyebaran Pornografi

Pasal 29 UU Pornografi mengatur tindak pidana utama terhadap pelaku yang memproduksi dan menyebarluaskan pornografi:

“Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”

Dalam praktik, unsur‑unsur yang harus dibuktikan oleh penuntut umum adalah:

  • Adanya tindakan produksi, penyebaran, atau penyediaan produk pornografi;
  • Produk tersebut memenuhi definisi pornografi menurut Pasal 1; dan
  • Perbuatan dilakukan secara sengaja (dolus).

Perlu dicatat bahwa UU Pornografi juga mengatur pemberatan pidana jika pelaku adalah korporasi atau jika korban adalah anak (Pasal 30–31), serta pidana tambahan berupa perampasan barang bukti dan pencabutan izin usaha (Pasal 32).

Penafsiran Norma Harus Proporsional dan Berdasarkan Hukum

Sebagai UU yang bersifat YMYL (Your Money Your Life), penafsiran terhadap UU Pornografi harus dilakukan secara hati‑hati, proporsional, dan berdasarkan asas legalitas (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Dalam praktik, LBH Surakarta menekankan pentingnya:

  • Pemilahan unsur utama dan unsur pendukung: Tidak semua konten yang mengandung tubuh telanjang atau ekspresi seksual otomatis merupakan pornografi; harus dilihat konteks, tujuan, dan apakah memang melanggar norma kesusilaan secara luas.
  • Kesatuan norma dan penjelasan: Penjelasan dalam UU Pornografi merupakan bagian dari norma hukum yang tidak dapat dipisahkan, sehingga harus digunakan sebagai pedoman dalam menafsirkan pasal‑pasal pokok.
  • Keseimbangan dengan hak asasi: Penegakan UU Pornografi harus tetap menjaga hak kebebasan berekspresi dan hak atas informasi, terutama dalam konteks seni, pendidikan, dan kesehatan reproduksi (sebagaimana dikecualikan dalam Pasal 14 UU Pornografi).

Bagaimana Jika Anda Terlibat Kasus Pornografi?

Jika Anda atau keluarga menghadapi persoalan hukum terkait dugaan pornografi, baik sebagai pelaku maupun korban segera konsultasikan dengan penasihat hukum atau lembaga bantuan hukum. Di LBH Surakarta, kami memberikan pendampingan hukum untuk:

  • Analisis unsur pidana dan peluang pembelaan;
  • Pendampingan saat pemeriksaan oleh penyidik;
  • Penyusunan surat permohonan penangguhan penahanan, praperadilan, atau pledoi;
  • Perlindungan korban, terutama anak dan perempuan.

Kami menyarankan agar seluruh bukti (chat, rekaman, dokumen, atau keterangan saksi) segera didokumentasikan dan diserahkan kepada penasihat hukum untuk dinilai secara objektif.