RUU Perampasan Aset Sebagai Senjata Baru Untuk Memiskinkan Koruptor Dan Mengembalikan Uang Rakyat

Masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 telah memicu diskusi hangat di kalangan pegiat hukum dan masyarakat sipil. LBH Surakarta menyoroti langkah ini sebagai sebuah instrumen krusial yang telah lama ditunggu, yang dianggap sebagai senjata penting untuk akhirnya memiskinkan koruptor dan, yang terpenting, mengembalikan kerugian negara. Urgensi RUU ini lahir dari kelemahan fundamental dalam penegakan hukum yang terjadi selama ini. Harus diakui, sistem saat ini yang hanya mengandalkan hukuman penjara bagi koruptor terbukti tidak memberikan efek jera maksimal; banyak pelaku kejahatan ekonomi tetap hidup kaya raya meski telah divonis, dan masih bisa menikmati aset hasil kejahatannya, baik setelah bebas atau bahkan dari balik penjara. "Sistem hukum kita saat ini (pidana konvensional) lumpuh ketika seorang tersangka koruptor melarikan diri (DPO), meninggal dunia, atau sengaja memindahkan asetnya ke nama keluarga," jelas seorang Pengacara Publik LBH Surakarta. Kelemahan fatal ini diperparah oleh celah dalam UU Tipikor yang berlaku, di mana koruptor bahkan dapat memilih untuk mengganti kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara dengan tambahan kurungan badan. Akibatnya, keadilan prosedural mungkin tercapai, namun keadilan substansial, yakni kembalinya uang rakyat yang dicuri tidak pernah terwujud.