Putusan MK 114/2025 Benteng Baru Supremasi Sipil

Gebrakan hukum signifikan datang dari Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Dengan mengabulkan gugatan terkait rangkap jabatan anggota Polri aktif, MK secara efektif telah membangun benteng baru untuk menegakkan prinsip supremasi sipil dan memutus praktik "Dwifungsi" gaya baru yang selama ini meresahkan. Urgensi putusan ini lahir dari kegelisahan publik yang panjang atas praktik penempatan perwira Polri (dan TNI) aktif di berbagai jabatan strategis sipil.
Mengurai "Dwifungsi" Gaya Baru sebagai Akar Masalah yang Mencederai Reformasi
Harus diakui, praktik penempatan perwira aktif mulai dari Penjabat (Pj.) Kepala Daerah, direksi BUMN, hingga pos kementerian/lembaga secara terang-terangan mencederai amanat Reformasi 1998. Praktik ini mengaburkan profesionalisme Polri sebagai alat negara penegak hukum, sekaligus menggerus netralitas dan independensi birokrasi sipil.
LBH Surakarta menilai sistem kita selama ini ambigu, karena secara keliru membiarkan perwira aktif yang berdoktrin komando mengisi jabatan sipil yang menuntut logika pelayanan publik. Kelemahan regulasi yang ada, khususnya dalam misal UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, telah dieksploitasi untuk melegitimasi intervensi aparat keamanan ke dalam ranah sipil. Akibatnya, tercipta loyalitas ganda dan potensi konflik kepentingan yang masif.
Ketegasan Putusan 114/2025 Memaksa Polri Memilih
Menjawab kebuntuan hukum tersebut, Putusan 114/2025 menawarkan sebuah ketegasan fundamental. Jika sebelumnya penugasan anggota Polri di luar institusi (dengan dalih "kepentingan negara") ditafsirkan secara sangat luas, MK kini mengembalikannya ke rel yang semestinya. Putusan ini secara radikal mengubah paradigma seorang anggota Polri harus memilih. Intinya, negara tidak bisa lagi membiarkan seorang aparat aktif duduk di dua kursi.
Secara yuridis, MK menegaskan kembali ruh pemisahan tegas antara domain keamanan (Polri/TNI) dan domain sipil (ASN/Pemerintahan). Profesionalisme Polri adalah sebagai bhayangkara negara di bidang penegakan hukum dan kamtibmas, bukan sebagai administrator pemerintahan sipil. Mekanisme ini memaksa adanya kepatuhan hukum: jika seorang anggota Polri ingin berkarier di ranah sipil, ia wajib menanggalkan statusnya sebagai anggota korps kepolisian melalui mekanisme pengunduran diri atau pensiun.
Titik Rawan Implementasi yang Wajib Dikawal
Meskipun putusan ini merupakan kemenangan besar bagi agenda reformasi, harus disadari bahwa ini adalah putusan yang implementasinya wajib dikawal ketat oleh publik. Naskah putusan ini, secara tersurat maupun tersirat, menunjukkan beberapa titik rawan krusial.
LBH Surakarta mengidentifikasi setidaknya dua tantangan terbesar:
Eksekusi Putusan dan Risiko Kekosongan Jabatan Tantangan terbesar adalah bagaimana Presiden, Kemendagri, dan kementerian terkait akan mengeksekusi putusan yang bersifat final and binding (final dan mengikat) ini terhadap para perwira aktif yang saat ini sedang menjabat. Potensi terjadinya kekosongan jabatan strategis (terutama Pj. Kepala Daerah) hampir pasti akan terjadi dan ini menuntut respons cepat dari pemerintah.
Potensi "Akal-Akalan" Hukum (Penyelundupan Norma Baru) Titik rawan kedua adalah risiko munculnya "jalan pintas" atau rekayasa yuridis. "Kita harus awas terhadap potensi adanya 'akal-akalan' hukum, misalnya rekayasa pensiun dini yang dipercepat hanya untuk memenuhi syarat formalitas," tegas [Nama Anda]. Tanpa pengawasan ketat, putusan ini bisa saja dilemahkan oleh peraturan turunan atau kebijakan teknis yang justru mengkhianati semangat putusan MK.
Momentum Emas Menutup Pintu Militerisme Gaya Baru
Oleh karena itu, LBH Surakarta (dan elemen masyarakat sipil lainnya) menyimpulkan bahwa Putusan MK 114/2025 adalah momentum emas. Publik harus turut mengawasi agar putusan ini benar-benar dieksekusi secara konsekuen, membersihkan birokrasi dari intervensi aparat aktif, dan mengembalikan Polri sebagai institusi profesional yang fokus pada tugas pokoknya, sekaligus menutup rapat pintu bagi militerisme gaya baru di era demokrasi.