LBH SURAKARTA: Dua Raja Satu Keraton Tantangan Supremasi Hukum di Solo

Dua Raja Satu Keraton Tantangan Supremasi Hukum di Solo

Dua Raja Satu Keraton Tantangan Supremasi Hukum di Solo

SOLO – Sengketa dualisme takhta Keraton Kasunanan Surakarta memanas dan memasuki babak baru yang krusial pada 2025. Konflik yang sebelumnya hanya berporos pada tafsir adat dan silsilah keluarga kini meningkat menjadi pertarungan hukum terbuka: kedua kubu yang sama-sama mengklaim gelar "Paku Buwono XIV" (PB XIV) telah menunjuk advokat/kuasa hukum untuk mendampingi, menyusun strategi hukum, menyampaikan pernyataan publik, serta mempersiapkan kemungkinan langkah hukum jika sengketa ini benar-benar berlanjut ke pengadilan. Mediasi adat sudah berulang kali deadlock, memperpanjang ketidakpastian bagi abdi dalem dan masyarakat luas.

Analisis Hukum

LBH Surakarta menilai penunjukan kuasa hukum oleh para pihak bukan sekadar manuver politik, melainkan penegasan bahwa sengketa ini telah masuk ke ranah hukum positif yang kompleks. Kami melihat potensi gugatan berlapis memang nyata, namun jalur litigasi pengadilan hingga kini masih dalam tahap pernyataan atau kesiapan dari para pihak belum teregister secara resmi sebagai perkara di pengadilan terkait sengketa PB XIV, contohnya:

  1. Ranah Keperdataan: Perebutan takhta yang berimplikasi pada penguasaan aset secara sepihak dapat dikualifikasikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
  2. Ranah Tata Usaha Negara (TUN): Jika terdapat pejabat publik yang menerbitkan keputusan (beschikking) kepada salah satu pihak tanpa dasar validitas yang jelas, maka hal tersebut rawan digugat di PTUN karena melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

LBH Surakarta memperingatkan keras mengenai risiko kekosongan subjek hukum (rechtsvacuüm) dalam konteks penerimaan dana hibah. Tanpa legal standing tunggal yang diakui negara, penyaluran dana hibah APBD/APBN rentan menjadi Tindak Pidana Korupsi atau penggelapan. Negara tidak boleh membiayai entitas yang status hukumnya masih dalam sengketa.

Mahkamah Agung dan Prinsip Legalitas

Perlu ditegaskan, peran Mahkamah Agung (MA) bukan untuk menunjuk "siapa Raja", melainkan menegakkan ketertiban administrasi berdasarkan hukum positif. Putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) terkait pembatalan struktur keraton ilegal pasca SK Mendagri 2017 adalah yurisprudensi penting yang wajib dijadikan acuan bersama oleh seluruh pihak, terlepas dari afiliasi keluarga/keraton mana pun. Pelaksanaan eksekusi oleh Pengadilan Negeri Surakarta pada 8 Agustus 2024 lalu harus dimaknai sebagai upaya negara memulihkan marwah hukum dan mengembalikan tata kelola lembaga adat ke jalur legalitas formal, bukan bentuk keberpihakan pada faksi tertentu.

Dampak Lapangan dan Sikap LBH

LBH Surakarta mendapati gejolak mediasi adat yang berulang kali gagal telah menambah beban bagi masyarakat maupun abdi dalem yang bergantung pada kepastian status keraton. LBH Surakarta menekankan, “Kami berdiri sebagai pengawal kepastian hukum, transparansi administrasi publik, serta perlindungan semua warga terdampak.” Prinsip utama kami adalah mengawal supremasi hukum, bukan pembelaan pada faksi keluarga manapun.

No Law, No CultureLBH Surakarta mengajak seluruh pihak menaati putusan final dan asas transparansi, untuk menjaga penggunaan dana publik yang akuntabel, serta martabat hukum dan budaya di Kota Solo. Tidak ada pelestarian budaya tanpa kepastian hukum. LBH Surakarta tegak untuk keadilan dan kepentingan rakyat.