LBH SURAKARTA: KUHP Lama vs KUHP Baru (UU 1/2023) Lebih Baik atau Lebih Buruk?

KUHP Lama vs KUHP Baru (UU 1/2023) Lebih Baik atau Lebih Buruk?

KUHP Lama vs KUHP Baru (UU 1/2023) Lebih Baik atau Lebih Buruk?


Pertarungan Dua Era Hukum Pidana

Masyarakat Indonesia kini berada di persimpangan jalan sejarah hukum pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, akan segera menggantikan KUHP lama (Wetboek van Strafrecht atau WvS) yang telah berlaku lebih dari satu abad. Banyak pertanyaan yang muncul Apakah ini sebuah kemajuan? Apakah KUHP baru ini benar-benar lebih baik bagi masyarakat, terutama bagi kelompok rentan dan pencari keadilan?

Sebagai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang memiliki pengalaman (Experience) mendampingi masyarakat dalam praktik peradilan sehari-hari, kami merasa perlu memberikan analisis ahli (Expertise) yang obyektif dan lugas. Jawaban atas pertanyaan tersebut, sayangnya, tidak sederhana.

KUHP Lama adalah Warisan Kolonial yang Mapan

KUHP lama adalah produk hukum Staatsblad 1915 No. 732. Ia dirancang oleh pemerintah kolonial Belanda.

Keunggulan (Expertise & Authoritativeness)

  1. Kepastian Hukum yang Kokoh: Inilah kekuatan terbesarnya. Setelah 100+ tahun diterapkan, KUHP lama memiliki yurisprudensi (putusan hakim terdahulu) dan doktrin (ajaran ahli hukum) yang sangat mapan. Para praktisi hukum dari advokat, jaksa, hingga hakim memiliki pemahaman yang seragam dalam menafsirkannya.
  2. Asas Legalitas yang Rigid: Fokusnya murni pada perbuatan (daadstrafrecht). Asas legalitas (Pasal 1 ayat 1) ditegakkan secara kaku, yang secara teori memberikan perlindungan kuat "Tidak ada pidana tanpa undang-undang yang jelas."

Kelemahan (Experience & Trustworthiness)

  1. Filosofi Usang (Retributif): KUHP lama berorientasi pada pembalasan (retributive justice). Tujuannya adalah menghukum, bukan memulihkan atau merehabilitasi. Ini tidak lagi sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan konsep keadilan modern.
  2. Anakronistis (Ketinggalan Zaman): Banyak pasalnya tidak lagi relevan. Sanksi denda sangat rendah (meski disesuaikan Perma), dan ia tidak dirancang untuk menangani kejahatan korporasi, kejahatan siber, atau pencucian uang secara komprehensif.

KUHP Baru (UU 1/2023) sebagai Dekolonisasi dan Risiko Baru

KUHP baru adalah hasil karya bangsa sendiri yang diklaim sebagai upaya "dekolonisasi" hukum pidana.

Keunggulan (Potensi)

  1. Paradigma Modern: KUHP baru secara eksplisit menggeser paradigma. Ia mencoba menyeimbangkan keadilan retributif dengan keadilan restoratif dan rehabilitatif. Ini terlihat dari pengenalan pidana alternatif seperti kerja sosial (double track system).
  2. Modernisasi Hukum: UU 1/2023 secara tegas mengatur Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Ini adalah kemajuan signifikan yang sangat dibutuhkan di era modern.

Kelemahan (Risiko dan Analisis Kritis)

Di sinilah letak skeptisisme kami, berdasarkan pengalaman (Experience) kami dalam membela hak-hak sipil:

  1. Risiko Ketidakpastian Hukum: Sebagai UU baru, KUHP 2023 adalah "lembaran kosong" tanpa yurisprudensi. Selama bertahun-tahun ke depan, kita akan menghadapi ketidakpastian interpretasi di ruang sidang. Ini berisiko bagi pencari keadilan, karena penafsiran hakim bisa sangat beragam sebelum terbentuk preseden yang mapan.
  2. Ancaman Overcriminalization (Kriminalisasi Berlebih): Ini adalah kekhawatiran terbesar kami. KUHP baru memuat banyak "pasal karet" baru yang berpotensi membungkam kebebasan sipil contohnya:
  • Pasal 2 (Hukum yang Hidup): Mengakui hukum adat (living law) untuk memidana seseorang adalah langkah mundur bagi kepastian hukum. Siapa yang berwenang menentukan "hukum" tersebut? Ini sangat rentan disalahgunakan.
  • Pasal 218 & 240 (Penghinaan Presiden & Lembaga Negara): Pasal-pasal ini (meski delik aduan) berpotensi besar menjadi alat untuk membungkam kritik publik terhadap pemerintah.
  • Pasal 263 (Berita Bohong): Pasal ini berpotensi tumpang tindih dengan UU ITE dan dapat menjadi alat represi baru terhadap kebebasan berpendapat.
  • Pasal 411 & 412 (Zina & Kohabitasi): Negara terlalu jauh memasuki ranah privat warga negara.

Mana yang Lebih Baik?

Dari perspektif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang berpihak pada kepentingan publik dan kelompok rentan, kami menyimpulkan bahwa Tidak ada yang "lebih baik" secara absolut.

Yang terjadi adalah sebuah pertukaran (trade-off):

Kita menukar kepastian hukum dari KUHP lama yang sudah usang, dengan filosofi modern dari KUHP baru yang membawa risiko ketidakpastian dan represi kebebasan sipil.

Secara filosofis, KUHP baru adalah kemajuan. Namun secara praktik, ia menghadirkan ancaman baru. "Kebaikan" KUHP baru ini akan sangat bergantung pada implementasinya Bagaimana Mahkamah Agung dan para hakim menafsirkan pasal-pasal tersebut?

Jika ditafsirkan secara progresif, hukum kita maju. Jika ditafsirkan secara represif, KUHP baru justru akan menjadi alat penindas yang lebih efektif dari pada KUHP lama.

Sikap Kami (Trustworthiness)

LBH Surakarta memandang bahwa masyarakat sipil harus tetap kritis. Meski KUHP lama adalah warisan kolonial, ia setidaknya memberikan kepastian yang jelas di pengadilan. KUHP baru, dengan segala niat baik dekolonisasinya, membuka kotak pandora baru berupa pasal-pasal multitafsir yang mengancam kebebasan berekspresi dan hak-hak privat. Tugas kita bersama adalah mengawal implementasinya agar tidak disalahgunakan untuk menindas kelompok rentan dan membungkam kritik.